Tokoh2 Filsafat Islam
AL- Kindi
Biografi
Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi.
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H
Mendapat pedidikan di Kufah dan Basrah
orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka
Filsafat
Talfiq
berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat
orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an
Jiwa
menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia
bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh
adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan.
Moral
lsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila
mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara
Al-Farabi
Biografi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr
lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H
dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd
Filsafat
Pemaduan Filsafat
berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya.
Jiwa
Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain.
jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak.
Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani.
Politik
politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia.
Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato.
Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
Ibnu Sina
Biografi
Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H.
mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa
Filsafat
Kenabian
membagi manusia kedalam empat kelompok:
mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif.
orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis.
Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Tasawuf
menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya.
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al.
jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina
berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan.